Persahabatan—Toleransi—Mimpi—Keikhlasan
Sebuah cerita
fiksi yang sarat makna ini ditulis oleh Erwin Arnada (@erwinarnada) untuk
dijadikan sebuah novel dengan ukuran 14,5 x 21 cm dengan jumlah halaman x+388
yang diterbitkan oleh Gagasmedia 2011.
 |
Sampul novel Rumah di Seribu Ombak karya Erwin Arnada |
Novel yang
memiliki tokoh utama Samihi dan Wayan Manik serta diperkuat dengan kehadiran
Syamimi ini menggambarkan bagaimana persahabatan yang terjalin di tanah Bali,
tepatnya di desa Kalidukuh, Singaraja. Samihi yang beragama Islam dapat menjalin
persahabatan dengan Wayan Manik atau sering dipanggil Yanik, putra Bali asli
yang beragama Hindu. Keduanya saling memahami tentang agama masing-masing.
Toleransi dijaga sebegitu kuatnya dan bahkan ini juga tergambar dalam lingkup
yang lebih besar, yaitu masyarakat di desa Kalidukuh.
Samihi dan
Yanik digambarkan sebagai pribadi yang berbeda. Samihi yang takut air karena
trauma sangat berbanding terbalik dengan Yanik yang sangat mencintai air (baca:
laut) dan bahkan dilautlah Yanik melepaskan semua kepasrahan hidupnya. Setelah
derita, duka, dan petaka menjeratnya dalam ketidakberdayaan seorang anak
manusia. Yanik tegar dan kuat.
Samihi dan
Yanik adalah dua orang yang saling mengisi dan memberi semangat. Samihi selalu
menyemangati Yanik ketika Yanik berhenti sekolah semenjak ayah dan ibunya
berpisah. Begitu juga dengan Yanik. Yanik berjuang mati-matian untuk dapat
meluluhkan hati Samihi supaya mau belajar berenang. Yaniklah yang mencarikan
guru untuk Samihi ketika Samihi hendak mengikuti qiraah.
Yanik berpisah
dengan Samihi ketika Samihi berhasil menjadi pemenang dalam lomba qiraah itu.
Pada saat itu, begitu kuatnya duka dan nestapa yang membelenggu Yanik dan Me
Yanik. Kisah kelamnya terhadap Andrew (warga asing yang ‘kelainan’) dan
kematian ayah Yanik sebagai korban bom Bali membuat Yanik dan ibunya tak kuat
untuk tinggal di Kalidukuh. Yanik pindah. Sebuah surat yang sempat ditinggalkan
Yanik untuk Samihi saat itu:
... Aku
yakin malam ini merupakan malam yang tak bisa engkau lupakan. Engkau akan
menjadi juara mengaji. Benar kan kataku, pejamkan mata, maka suara dari lubuk
hatimu akan terdengar indah.
Samihi, aku
harus meninggalkan Kalidukuh. Terlalu banyak duka yang aku alami. Aibku di
kampung ini sudah tidak menjadi rahasia. Peristiwa bom itu makin membuatku terluka.
Meme juga jadi sering bersedih dan kelihatan bingung atas semua yang terjadi.
Aku kasihan pada Meme. Apalagi fitnah dan kemarahan sudah mendera kampung kita.
Aku belum sanggup melawannya. Biarkan aku membawanya menjauh... kita akan
bertemu lagi nanti. Sekarang engkau telah mengalahkan anak-anak lain. Tinggal
kau kalahkan rasa takutmu pada air. Suatu saat pasti aku akan melihat kau
mengalahkan laut. Berselancar, snorkeling seperti anak-anak Singaraja lain.
Samihi jangan pernah takut lagi karena Tuhan akan menjaga dan melindungi
orang-orang yang selalu berdoa.
Doaku
untukmu... jaga dirimu baik baik...
-Saudaramu,
Yanik
(Rumah di Seribu Ombak,
245)
Semenjak itu,
di saat Yanik menghilang, Samihi berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya
dengan air bahkan pada akhirnya Samihi pun belajar berselancar yang dibantu
dengan Made Juma. Selancar ini akhirnya membawa keberkahan bagi Samihi setelah
bertemu dengan Bli Komang. Berbagai lomba surfing
yang diikuti mengantarkan Samihi memperoleh beasiswa ke Australia. Samihi
menjadi peselancar hebat.
Ketika Samihi
di Australia, Yanik kembali pulang ke Kalidukuh. Rasa hati kepada Syamimi, adik
Samihi, kini menyeruak muncul kembali setelah sekian lama dipendamnya. Namun,
pertimbangan perbedaan agama dan adat, membuat Syamimi telat dalam memberikan
respon. Perenungan itu membuat Yanik rela pasrah dalam hidup.
Yanik
mengalami pencerahan di tengah kegelapan. Ia merasa diberi ilham dan petunjuk
untuk menempati rumah kehidupan yang lebih tenang dan mewangi. Ia diseret ke
dalam sebuah kehidupan yang baru, tempat tersedia rumah untuknya di atas seribu
ombak di tengah samudra. Rumah untuk kehidupan yang lebih tenang, tempat tak
ada kebohongan, ancaman, permusuhan, dan ketakutan. Yanik tahu di mana ia bisa
menemukan rumah itu. Ia kembali memasrahkan diri dalam doa-doa kepada semua
dewa. (Rumah di Seribu Ombak, 374)
Terlepas dari
cerita yang menarik, masih banyak penulisan ‘kata’ yang tidak lengkap, misalnya
kurang huruf, seperti “Ia kembali memasrahkan diri daam...” (Rumah di Seribu Ombak,
374). Namun, hal tersebut tidak sampai mengganggu alur cerita yang disajikan.
Hanya saja perlu ketelitian dalam proses editing.
Penasaran
dengan ceritanya? Bacalah, agar kita lebih dalam memaknai arti persahabatan,
toleransi, mimpi, dan keikhlasan.