Kamis, 24 Januari 2013

Mimpi


Mimpi,
Di sanalah aku menggantungkan setiap asaku
Seperti debu yang menggumpal pada batu,
Menyatu...
Aku tak sepenuhnya tau,
Aku hanyalah sebutir debu yang dipaksa untuk mau
Terkadang aku terbayang, apakah ini sebuah ilusi
Yang sengaja dibuatnya untukku?

Jumat, 14 September 2012

Perjudian Hidup Kini Dimulai Kawan

With Cheney Christ S.
with Ellysa W.
with mtv's crew again
Bersama Yuanisak K.L. (Pimprush '11/12)

Auditorium UNS ramai, di depan Koperasi Mahasiswa jalanan terlihat macet. Ya, hari keenam pada bulan September 2012, tepatnya Kamis, UNS melaksanakan pewisudaan Pascasarjana, PPDS, dan Sarjana periode pertama tahun akademik 2012/2013. Aku adalah salah satu orang yang ikut berbahagia, meskipun sebenarnya kebahagiaan terbesarku muncul setelah tanggal 11 Juli 2012. Mengapa 11 Juli? Ya, karena pada tanggal tersebut saya melaksanakan sidang skripsi. Tiada yang lebih membahagiakan kecuali telah sidang skripsi dan dinyatakan lulus. Kadang perasaan geli itu ada ketika beberapa orang mengatakan, “Deg-degan ya mau wisuda?” Hallooo, it’s just a ceremonial graduation, nothing special. We just walk like a model. Only like that. Berbeda dengan sidang yang di mana kita harus menyiapkan semuanya, terutama pertahanan untuk skripsi kita. Jadi, menurutku pertanyaan tersebut lebih tepat dilontarkan ketika sidang, bukan wisuda.
Jika dikatakan berbahagia, ya aku berbahagia. Setidaknya hal tersebut adalah untuk kedua orang tuaku. Mereka telah bekerja keras supaya aku bisa menyelesaikan kuliah ini. Namun, sebenarnya aku tak harus begitu larut dalam hingar bingar kebahagiaan di wisuda ini. Jalan di depan masih panjang dan mungkin lebih terjal daripada ini. Wisuda hanyalah pembatas kehidupan semu dan kehidupan nyata. Kehidupan nyata yang menuntut kita untuk lebih keras, lebih tahan tekanan, dan lebih-lebih yang lainnya dibanding ketika status mahasiswa itu masih melekat.
Bagaimana kehidupan setelah wisuda, tak banyak kutahu. Life is like gambling. Kehidupan ini seperti sebuah perjudian. Ketika kita beruntung, kita akan menang. Namun, ketika keberuntungan berpihak kepada pihak lain, kita kalah. Terlepas dari itu, sebagai manusia kita hanya mampu berusaha, berdoa, dan bertawakal. Berhasil atau tidaknya adalah jalan Allah.
Bersama dengan kru Motivasi
Kawan, nikmatilah bahwa masa “mahasiswa” adalah masa di mana kalian bisa mengembangkan potensi, memperluas jaringan, dan carilah “sesuatu” yang memang tak kalian dapat di bangku kuliah. Namun, jangan karena masa itu ‘nikmat’ lantas kalian betah tinggal di kampus. Itu bukanlah keputusan yang benar. Lama-lama di kampus, kata banyak orang, tak banyak yang bisa kita dapatkan.
Say big thanks to LPM Motivasi’s crew yang telah memberikan banyak pelajaran berharga, mendidik, dan yang pasti memberikan warna dalam perjalananku selama empat tahun di Solo, untuk Mbak Duwi, Yui, Fitria, Farra, dan Ahmad—semangat, saya tunggu kalian di kehidupan nyata ini, kalian adalah partner yang hebat buatku, untuk adik-adik berusahalah sekuat tenaga ketika memang masih ada waktu, jangan sampai penyesalan itu ada.
with Bastind'08
Special thanks to Mbak Tutut, maaf tidak bisa foto bareng saat kita wisuda, mungkin lain waktu dalam tempat dan suasana berbeda. Terima kasih karena selama ini telah menjadi kakak, sahabat, dan teman hangout, terima kasih karena akhir-akhir ini telah memberikan waktu untuk sekadar menikmati soga, maupun matah ati dalam versi screen projector sebelum benar-benar meninggalkan Solo. Semoga silaturahmi yang terjalin selama ini akan tetap kekal di manapun kita berada nantinya.
with Norma Kusmintayu
Me, Norma, Helmi
Dan untuk kalimat terakhir dalam baris-baris kata yang enggak mutu ini, saya tidak ingin mengucapkan “SELAMAT TINGGAL,” tapi “SAMPAI JUMPA”.

Rabu, 12 September 2012

Teruntuk sahabat, kakak, kawan yang ada di sana ...


Tak ada yang tahu jalan hidup
Tapi, aku yakin kau kan bahagia di sana
Setiap celah udara yang kau hirup
Disitulah terselip titik bahagiamu
Kau tak perlu takut, di manapun itu
Namamu akan terselip dalam setiap doaku

Di setiap malam yang menjelang
Ku kan selalu mengenang
Karena setiap detik, pengalaman itu ada
Cerita itu diukir, dituliskan
Dan mengekal dalam keabadian

(Coretan di sebuah pagi, 11 September 2012)

Bukan Selamat Tinggal

Bukan selamat tinggal, tapi sampai jumpa

Di belahan sisi kehidupan lain, kuharap momen itu tidak pernah hilang

Karena kasih, tak pernah berat untuk melepas

Ketika kau datang nanti, celah itu akan tetap ada, sama

Bahkan kau tak perlu  mencarinya

Senin, 10 September 2012

Rumah di Seribu Ombak

Persahabatan—Toleransi—Mimpi—Keikhlasan
 
Sebuah cerita fiksi yang sarat makna ini ditulis oleh Erwin Arnada (@erwinarnada) untuk dijadikan sebuah novel dengan ukuran 14,5 x 21 cm dengan jumlah halaman x+388 yang diterbitkan oleh Gagasmedia 2011.
Sampul novel Rumah di Seribu Ombak karya Erwin Arnada
Novel yang memiliki tokoh utama Samihi dan Wayan Manik serta diperkuat dengan kehadiran Syamimi ini menggambarkan bagaimana persahabatan yang terjalin di tanah Bali, tepatnya di desa Kalidukuh, Singaraja. Samihi yang beragama Islam dapat menjalin persahabatan dengan Wayan Manik atau sering dipanggil Yanik, putra Bali asli yang beragama Hindu. Keduanya saling memahami tentang agama masing-masing. Toleransi dijaga sebegitu kuatnya dan bahkan ini juga tergambar dalam lingkup yang lebih besar, yaitu masyarakat di desa Kalidukuh.
Samihi dan Yanik digambarkan sebagai pribadi yang berbeda. Samihi yang takut air karena trauma sangat berbanding terbalik dengan Yanik yang sangat mencintai air (baca: laut) dan bahkan dilautlah Yanik melepaskan semua kepasrahan hidupnya. Setelah derita, duka, dan petaka menjeratnya dalam ketidakberdayaan seorang anak manusia. Yanik tegar dan kuat.
Samihi dan Yanik adalah dua orang yang saling mengisi dan memberi semangat. Samihi selalu menyemangati Yanik ketika Yanik berhenti sekolah semenjak ayah dan ibunya berpisah. Begitu juga dengan Yanik. Yanik berjuang mati-matian untuk dapat meluluhkan hati Samihi supaya mau belajar berenang. Yaniklah yang mencarikan guru untuk Samihi ketika Samihi hendak mengikuti qiraah.
Yanik berpisah dengan Samihi ketika Samihi berhasil menjadi pemenang dalam lomba qiraah itu. Pada saat itu, begitu kuatnya duka dan nestapa yang membelenggu Yanik dan Me Yanik. Kisah kelamnya terhadap Andrew (warga asing yang ‘kelainan’) dan kematian ayah Yanik sebagai korban bom Bali membuat Yanik dan ibunya tak kuat untuk tinggal di Kalidukuh. Yanik pindah. Sebuah surat yang sempat ditinggalkan Yanik untuk Samihi saat itu:
... Aku yakin malam ini merupakan malam yang tak bisa engkau lupakan. Engkau akan menjadi juara mengaji. Benar kan kataku, pejamkan mata, maka suara dari lubuk hatimu akan terdengar indah.
Samihi, aku harus meninggalkan Kalidukuh. Terlalu banyak duka yang aku alami. Aibku di kampung ini sudah tidak menjadi rahasia. Peristiwa bom itu makin membuatku terluka. Meme juga jadi sering bersedih dan kelihatan bingung atas semua yang terjadi. Aku kasihan pada Meme. Apalagi fitnah dan kemarahan sudah mendera kampung kita. Aku belum sanggup melawannya. Biarkan aku membawanya menjauh... kita akan bertemu lagi nanti. Sekarang engkau telah mengalahkan anak-anak lain. Tinggal kau kalahkan rasa takutmu pada air. Suatu saat pasti aku akan melihat kau mengalahkan laut. Berselancar, snorkeling seperti anak-anak Singaraja lain. Samihi jangan pernah takut lagi karena Tuhan akan menjaga dan melindungi orang-orang yang selalu berdoa.
Doaku untukmu... jaga dirimu baik baik...
-Saudaramu, Yanik
(Rumah di Seribu Ombak, 245)
Semenjak itu, di saat Yanik menghilang, Samihi berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya dengan air bahkan pada akhirnya Samihi pun belajar berselancar yang dibantu dengan Made Juma. Selancar ini akhirnya membawa keberkahan bagi Samihi setelah bertemu dengan Bli Komang. Berbagai lomba surfing yang diikuti mengantarkan Samihi memperoleh beasiswa ke Australia. Samihi menjadi peselancar hebat.
Ketika Samihi di Australia, Yanik kembali pulang ke Kalidukuh. Rasa hati kepada Syamimi, adik Samihi, kini menyeruak muncul kembali setelah sekian lama dipendamnya. Namun, pertimbangan perbedaan agama dan adat, membuat Syamimi telat dalam memberikan respon. Perenungan itu membuat Yanik rela pasrah dalam hidup.
Yanik mengalami pencerahan di tengah kegelapan. Ia merasa diberi ilham dan petunjuk untuk menempati rumah kehidupan yang lebih tenang dan mewangi. Ia diseret ke dalam sebuah kehidupan yang baru, tempat tersedia rumah untuknya di atas seribu ombak di tengah samudra. Rumah untuk kehidupan yang lebih tenang, tempat tak ada kebohongan, ancaman, permusuhan, dan ketakutan. Yanik tahu di mana ia bisa menemukan rumah itu. Ia kembali memasrahkan diri dalam doa-doa kepada semua dewa. (Rumah di Seribu Ombak, 374)
Terlepas dari cerita yang menarik, masih banyak penulisan ‘kata’ yang tidak lengkap, misalnya kurang huruf, seperti “Ia kembali memasrahkan diri daam...” (Rumah di Seribu Ombak, 374). Namun, hal tersebut tidak sampai mengganggu alur cerita yang disajikan. Hanya saja perlu ketelitian dalam proses editing.
Penasaran dengan ceritanya? Bacalah, agar kita lebih dalam memaknai arti persahabatan, toleransi, mimpi, dan keikhlasan.