Senin, 10 September 2012

Rumah di Seribu Ombak

Persahabatan—Toleransi—Mimpi—Keikhlasan
 
Sebuah cerita fiksi yang sarat makna ini ditulis oleh Erwin Arnada (@erwinarnada) untuk dijadikan sebuah novel dengan ukuran 14,5 x 21 cm dengan jumlah halaman x+388 yang diterbitkan oleh Gagasmedia 2011.
Sampul novel Rumah di Seribu Ombak karya Erwin Arnada
Novel yang memiliki tokoh utama Samihi dan Wayan Manik serta diperkuat dengan kehadiran Syamimi ini menggambarkan bagaimana persahabatan yang terjalin di tanah Bali, tepatnya di desa Kalidukuh, Singaraja. Samihi yang beragama Islam dapat menjalin persahabatan dengan Wayan Manik atau sering dipanggil Yanik, putra Bali asli yang beragama Hindu. Keduanya saling memahami tentang agama masing-masing. Toleransi dijaga sebegitu kuatnya dan bahkan ini juga tergambar dalam lingkup yang lebih besar, yaitu masyarakat di desa Kalidukuh.
Samihi dan Yanik digambarkan sebagai pribadi yang berbeda. Samihi yang takut air karena trauma sangat berbanding terbalik dengan Yanik yang sangat mencintai air (baca: laut) dan bahkan dilautlah Yanik melepaskan semua kepasrahan hidupnya. Setelah derita, duka, dan petaka menjeratnya dalam ketidakberdayaan seorang anak manusia. Yanik tegar dan kuat.
Samihi dan Yanik adalah dua orang yang saling mengisi dan memberi semangat. Samihi selalu menyemangati Yanik ketika Yanik berhenti sekolah semenjak ayah dan ibunya berpisah. Begitu juga dengan Yanik. Yanik berjuang mati-matian untuk dapat meluluhkan hati Samihi supaya mau belajar berenang. Yaniklah yang mencarikan guru untuk Samihi ketika Samihi hendak mengikuti qiraah.
Yanik berpisah dengan Samihi ketika Samihi berhasil menjadi pemenang dalam lomba qiraah itu. Pada saat itu, begitu kuatnya duka dan nestapa yang membelenggu Yanik dan Me Yanik. Kisah kelamnya terhadap Andrew (warga asing yang ‘kelainan’) dan kematian ayah Yanik sebagai korban bom Bali membuat Yanik dan ibunya tak kuat untuk tinggal di Kalidukuh. Yanik pindah. Sebuah surat yang sempat ditinggalkan Yanik untuk Samihi saat itu:
... Aku yakin malam ini merupakan malam yang tak bisa engkau lupakan. Engkau akan menjadi juara mengaji. Benar kan kataku, pejamkan mata, maka suara dari lubuk hatimu akan terdengar indah.
Samihi, aku harus meninggalkan Kalidukuh. Terlalu banyak duka yang aku alami. Aibku di kampung ini sudah tidak menjadi rahasia. Peristiwa bom itu makin membuatku terluka. Meme juga jadi sering bersedih dan kelihatan bingung atas semua yang terjadi. Aku kasihan pada Meme. Apalagi fitnah dan kemarahan sudah mendera kampung kita. Aku belum sanggup melawannya. Biarkan aku membawanya menjauh... kita akan bertemu lagi nanti. Sekarang engkau telah mengalahkan anak-anak lain. Tinggal kau kalahkan rasa takutmu pada air. Suatu saat pasti aku akan melihat kau mengalahkan laut. Berselancar, snorkeling seperti anak-anak Singaraja lain. Samihi jangan pernah takut lagi karena Tuhan akan menjaga dan melindungi orang-orang yang selalu berdoa.
Doaku untukmu... jaga dirimu baik baik...
-Saudaramu, Yanik
(Rumah di Seribu Ombak, 245)
Semenjak itu, di saat Yanik menghilang, Samihi berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya dengan air bahkan pada akhirnya Samihi pun belajar berselancar yang dibantu dengan Made Juma. Selancar ini akhirnya membawa keberkahan bagi Samihi setelah bertemu dengan Bli Komang. Berbagai lomba surfing yang diikuti mengantarkan Samihi memperoleh beasiswa ke Australia. Samihi menjadi peselancar hebat.
Ketika Samihi di Australia, Yanik kembali pulang ke Kalidukuh. Rasa hati kepada Syamimi, adik Samihi, kini menyeruak muncul kembali setelah sekian lama dipendamnya. Namun, pertimbangan perbedaan agama dan adat, membuat Syamimi telat dalam memberikan respon. Perenungan itu membuat Yanik rela pasrah dalam hidup.
Yanik mengalami pencerahan di tengah kegelapan. Ia merasa diberi ilham dan petunjuk untuk menempati rumah kehidupan yang lebih tenang dan mewangi. Ia diseret ke dalam sebuah kehidupan yang baru, tempat tersedia rumah untuknya di atas seribu ombak di tengah samudra. Rumah untuk kehidupan yang lebih tenang, tempat tak ada kebohongan, ancaman, permusuhan, dan ketakutan. Yanik tahu di mana ia bisa menemukan rumah itu. Ia kembali memasrahkan diri dalam doa-doa kepada semua dewa. (Rumah di Seribu Ombak, 374)
Terlepas dari cerita yang menarik, masih banyak penulisan ‘kata’ yang tidak lengkap, misalnya kurang huruf, seperti “Ia kembali memasrahkan diri daam...” (Rumah di Seribu Ombak, 374). Namun, hal tersebut tidak sampai mengganggu alur cerita yang disajikan. Hanya saja perlu ketelitian dalam proses editing.
Penasaran dengan ceritanya? Bacalah, agar kita lebih dalam memaknai arti persahabatan, toleransi, mimpi, dan keikhlasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar